Mata manusia Sebenarnya Bisa Melihat Medan Magnetik!

Tanpa disadari, manusia sebenarnya bisa melihat medan magnet bumi karena adanya suatu senyawa dalam mata...

Nyala Lilin Ternyata Mengandung Berlian

Nyala api lilin ternyata mengandung limpahan berlian. Ini adalah temuan Wuzong Zhou, ilmuwan dari University St Andrews,

Agar belajar fisika lebih mudah dan menyenangkan

Bagi sebagian siswa, belajar Fisika itu menyenangkan dan tidak sedikit yang menganggap pelajaran fisika..

Kelahiran Planet Akhirnya Berhasil Diabadikan

Sistem keplanetan mulanya adalah pusaran gas dan kondensasi debu yang berada di piringan "bayi" bintang.

Ngerti Gak Siiiihhh??? Sinar Laser dapat Menimbulkan Hujan

Laser ternyata berpotensi digunakan untuk menciptakan hujan. Hal ini diungkapkan oleh Jerome Kasparian,

Selasa, 27 November 2012

Mata manusia Sebenarnya Bisa Melihat Medan Magnetik!


Tanpa disadari, manusia sebenarnya bisa melihat medan magnet bumi karena adanya suatu senyawa dalam mata. Ada kemungkinan, nenek moyang manusia dulu punya kemampuan tersebut.



Sebuah studi menunjukkan bahwa ada kemungkinan protein bernama cryptochrome muncul pada retina. Protein tersebut banyak didapati pada hewan dan tumbuhan sehingga beberapa spesies bisa menggunakan medan magnet bumi untuk melakukan navigasi.
Elektron dalam molekul cryptochrome saling terkait. Medan magnet bumi menyebabkan elektron bervibrasi / bergetar. Reaksi kimiawi untuk merespons getaran elektron tersebut membuat burung dapat melihat medan magnet dalam warna-warni.
Para peneliti sebelumnya mengira jika cryptochrome tidak memiliki banyak keuntungan bagi manusia sehingga tidak dapat mengenali medan magnet seperti burung. Karenanya, manusia butuh patokan atau perangkat GPS untuk mengetahui arah.
Sangkaan ini yang sepertinya harus diubah setelah para ahli saraf dari University of Massachusetts melakukan penelitian. Mereka mengambil cryptochrome dari manusia dan memberikannya pada lalat buah yang kehilangan kemampuan melihat medan magnet. Hasilnya, seperti dilaporkan Wired Science, lalat buah kembali memiliki kemampuan melihat medan magnet.
Sayangya pada manusia, cara kerja cryptochrome tidak seperti pada lalat. "Kami tidak tahu apakah kerja molekul itu sama pada retina manusia. Tapi kemungkinan itu ada," kata Steven Reppert, ahli saraf dari University of Massachusetts. Saat ini ilmuwan mengetahui bahwa cryptochrome pada manusia berfungsi sebagai jam molekul, bukan sebagai kompas.
Tapi para peneliti menduga bahwa nenek moyang manusia terbantu dengan adanya protein tersebut untuk menentukan arah. Jika suatu saat para peneliti berhasil mengembalikan kemampuan tersebut... selamat tinggal perangkat GPS.

Nyala Lilin Ternyata Mengandung Berlian



Nyala api lilin ternyata mengandung limpahan berlian. Ini adalah temuan Wuzong Zhou, ilmuwan dari University St Andrews, Skotlandia, Inggris, yang dipublikasikan di Chemical Communication Journal bulan ini.

Penemuan ini bisa dikatakan tak direncanakan. Zhou hanya memenuhi tantangan koleganya yang mengatakan bahwa tak ada yang bisa mengetahui penyusun nyala lilin.
"Kolega universitas lain mengatakan, pasti tak ada yang tahu penyusun nyala lilin. Saya bilang, saya percaya sains dan bisa menjelaskan semua, jadi saya berusaha menemukan," kata Zhou.
Hasilnya mengejutkan. Ternyata ada 1,5 juta nanopartikel berlian dalam nyala lilin tiap detik. Ukuran partikel berlian sangat kecil. Susunan 300.000 partikelnya cuma akan menghasilkan bentuk seukuran kepala pin.
Untuk mengetahui adanya partikel berlian itu, Zhou mengembangkan penyaring yang bisa memisahkan partikel dari pusat nyala lilin bersuhu 1.400 derajat celsius, kemudian mengevaluasinya.
Selain berlian, nyala lilin ternyata juga mengandung empat jenis senyawa karbon yang berbeda, termasuk grafit, jenis senyawa karbon yang biasa dipakai sebagai bahan baku mata pensil.
Penemuan berlian di nyala lilin berpotensi menyediakan "lahan" tambang baru untuk mendapatkannya. Cincin atau kalung berlian bisa dibuat dengan cara membakar lilin nantinya. "Sayangnya, partikel berlian terbakar dalam proses, menghasilkan CO2," kata Zhou memupuskan harapan.
Walau demikian, ia mengatakan, penemuan ini akan mengubah cara manusia memandang nyala lilin. Ia mengatakan tak usah khawatir, mungkin nanti ada penelitian yang bisa memberi solusi.
Yang jelas, seperti dikutip Daily Mail, Kamis (18/8/2011), Zhou kini akan meneliti api barbeque, apakah juga mengandung berlian.
Penemuan ini seperti mengingatkan kita pada kuliah kimia oleh Michael Faraday pada tahun 1860 di Inggris. Ia mengatakan, nyala lilin memiliki keindahan emas, perak, dan berlian. Kini diketahui, memang ada berlian dalam nyala itu.

Kelahiran Planet Akhirnya Berhasil Diabadikan

Sistem keplanetan mulanya adalah pusaran gas dan kondensasi debu yang berada di piringan "bayi" bintang. Ketika gravitasi mulai menarik keduanya, materi mengumpul dan mulai menyusun sebuah bentuk. Gravitasi terus mengumpulkan debu hingga terbentuk planet.


Citra yang diambil Christian Thalmann dari Max Planck Institute for Astronomy di Heidelberg, Jerman.
 
Sejauh ini kelahiran planet nyaris belum pernah disaksikan. Namun, citra yang diambil Christian Thalmann dari Max Planck Institute for Astronomy di Heidelberg, Jerman, berhasil membuat kita bisa menyaksikan rupa awal pembentukan planet, atau lebih luasnya sistem keplanetan.
Thalman dan timnya berhasil menangkap citra detail dari pembentukan piringan sistem keplanetan. Piringan tersebut mengelilingi bintang muda yang berjarak 450 tahun cahaya dari bumi. Bagian dalam yang terang dan berbentuk bujur membentuk celah pada piringan itu.
Celah yang berbentuk elips tampak miring dan berada di dekat pusat. Hal itu menunjukkan adanya sebuah planet yang seolah menyibak seluruh materi di sekitarnya, membentuk celah, dan mengorbit mengelilingi bintang induknya. Akhirnya sebuah planet lahir dan mulai berevolusi.
Citra tersebut diambil dengan kamera pemburu planet yang terpasang di teleskop Subaru. Citra ini bisa memberikan gambaran tentang awal kelahiran tata surya tempat kita berdiam. Penelitian Thalman dipublikasikan di The Astrophysical Journal Letter beberapa waktu lalu.

Peneliti dari ITB Merancang Sistem Penerangan Jalan Otomatis


Peneliti dari Institut Teknologi Bandung (ITB) menciptakan sistem lampu jalan yang bisa mati secara otomatis setelah jalanan tidak dilalui mobil. Dengan sistem lampu ini, cukup banyak cadangan listrik yang dapat dihemat.
Saat uji coba, tim peneliti yang terdiri dari Suprijadi, Thomas Muliawan, dan Sparisoma Viridi menggunakan sebuah kamera video, komputer, dan mobil mainan. Sistem dapat mendeteksi pergerakan mobil di kecepatan 3,2 kilometer per jam dengan akurasi 91 persen. Namun, saat kecepatan ditingkatkan, akurasi sistem itu pun berkurang.
Para peneliti tengah mengembangkan teknologi terbaru untuk menyempurnakan sensitivitas sistem lampu otomatis ini. Selain itu, mereka akan mengembangkan sistem lampu yang akan bereaksi terhadap pejalan kaki dan pesepeda, serta mampu bekerja dalam berbagai kondisi cuaca.
Tech Review menyebutkan bahwa teknologi ini merupakan langkah maju untuk sistem penerangan yang lebih efisien. "Sistem seperti ini dapat mengurangi konsumsi energi di kota besar di seluruh dunia, seperti Jakarta yang memiliki 200.000 lampu jalan dan menelan biaya tak kurang dari 140 miliar rupiah untuk beroperasi sepanjang tahun 2007," demikian tertera dalam laporan penelitian.
Walaupun masih dalam purwarupa (prototipe), peneliti akan terus mencari cara untuk merealisasikan sistem lampu yang hemat energi ini.

Ngerti Gak Siiiihhh??? Sinar Laser dapat Menimbulkan Hujan


Laser ternyata berpotensi digunakan untuk menciptakan hujan. Hal ini diungkapkan oleh Jerome Kasparian, fisikawan dari University of Geneva. Dengan hasil penelitian ini, daerah kering bisa berharap hujan lebih dan ilmuwan pun mendapat teknik baru membuat hujan yang lebih efektif dari teknik modifikasi iklim.

Dalam penelitiannya, Kasparian menggunakan laser untuk mengontrol kelembaban. Ilmuwan menemukan bahwa laser bisa memicu tumbuhnya tetesan air hujan pada kelembaban lebih rendah, sekitar 70 persen. "Pada kelembaban tersebut, kondensasi tidak terjadi dalam kodisi natural, di mana dibutuhkan kelembaban 100 persen," kata Kasparian.


Rahasia kerja laser adalah pada kemampuan sinarnya membentuk senyawa asam nitrat di udara. Asam nitrat bisa menjadi "biji" awan, memilih untuk berasosiasi dengan air, bertindak seperti lem sehingga membentuk kumpulan air dalam kondisi yang relatif kering, di mana air mengalami evaporasi.

Untuk bisa diaplikasikan sebagai pencipta hujan, masih perlu beberapa pengembangan. Kasparian mengakui bahwa laser memang bisa menumbuhkan partikel berair. "Namun, saat ini ukurannya terbatas, hanya beberapa mikron. Butuh 10 sampai 100 kali lebih besar untuk memproduksi hujan yang sebenarnya," kata Kasparian.

Asalkan syarat tersebut bisa dipenuhi, penciptaan hujan dengan laser tak akan terlampau sulit. Tak perlu juga sistem laser udara. "Tipe laser yang digunakan selama ini bisa mencapai jarak kerja beberapa kilometer, jadi atmosfer bisa diaktifkan dengan ground based laser," kata Kasparian seperti dikutip Foxnews, Selasa (30/8/2011).
Menurut Kasparian, kombinasi antara teknik laser dan teknik modifikasi cuaca seperti dengan perak iodidan dan dru ice tidak diperlukan. Langkah itu, menurutnya, justru akan kontraproduktif. Partikel akan berkompetisi untuk terkondensasi dan hasilnya tetesan air terlalu kecil, tak cukup untuk menjadi tetesan hujan.
Satu masalah terkait kontrol cuaca seperti dengan laser adalah, akankah penciptaan kelembaban di satu tempat akan mencuri kelembaban di tempat lain. Menanggapi hal ini, Kasparian mengatakan, "Laser hanya memungkinkan kondensasi bagian kecil dari kelembaban di udara." Jadi, risikonya tak terlampau serius. Penemuan Kasparian ini dipublikasikan di Nature Communication, 30 Agustus 2011.